Olehsebab itu ada konsep yang bernama kesabaran.Kesabaran ini mudah diucapkan. Namun, sulit untuk dipraktekkan. Itulah yang Buya Hamka praktekkan dalam kehidupan. Mungkin tanpa penderitaan, tanpa kesabaran, tanpa prinsip kuat dalam memegang tali-tali agama, Buya Hamka tidak akan menjadi Buya Hamka yang kita kenal sekarang ini. BahkanIbu Siti Raham, istri dari Buya Hamka tidak memakai jilbab yang syar'i. Begitupun dengan putri beliau Prof Quraish Syihab yaitu Najwa Syihab dimana dia dalam kesehariannya tidak memakai jilbab. Begitupun istrinya Habib Luthfi bin Yahya yang memakai jilbab tidak syar'i jika menggunakan ukuran saat ini. Simakkutipan pendapat pak Quraisy Shihab berikut ini : "Anda pernah lihat foto istri Ahmad Dahlan, istri Hasyim Asy'ari, istri Buya Hamka, atau organisasi Aisyiyah? Mereka pakai kebaya dengan baju kurung, tidak memakai kerudung yang menutup semua rambut, atau pakai tapi sebagian. Begitulah istri-istri para kiai besar kita. Dialantas dibawa bertemu Buya Hamka di kediamannya. Di sana dia menyatakan ingin masuk Islam tapi tidak hari itu. Namun, Buya Hamka memintanya saat itu juga bersyahadat masuk Islam. Potret Istri Bos Jalan Tol Jusuf Hamka jadi Pelayan Nasi Kuning Gratis, Sigap Banget Wanita Berhijab Ini Lihai Memarkirkan Bus. Sekitar 13 Jam yang lalu. AdaBukti Guru Paksa Siswi Berjilbab di SMAN 1 Banguntapan. Lantaran tidak bisa bertanya kepada siapa pun, wali murid itu dengan terpaksa anaknya mengenak jilbab ke sekolah. "Karena sudah diwajibkan sejak awal, ya sudah terpaksa ikut itu," ujar dia. Ketika anaknya tidak mengenakan jilbab, wali murid itu mengaku merasa kasihan. IstriKH Wahid Hasyim dan istri Buya Hamka, juga tidak pakai jilbab. Apa semua itu mau dianggap auto-neraka? Pandangan yang memvonis bahwa perempuan tak berjilbab=auto neraka ini muncul karena menganggap bahwa satu-satunya cara untuk mematuhi ayat jilbab adalah dengan memahaminya secara harfiah. Kalau yang tak seperti itu berarti melanggar D935iis. - Belum lama ini, perdebatan jilbab sempat mencuat, terkait foto Pahlawan Nasional Tjut Meutia dalam uang baru pecahan Dalam uang pecahan baru itu, terpampang foto Tjut Meutia tanpa mengenakan jilbab. Beberapa pihak yang merasa keberatan, bahkan mengajukan protes, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR Aceh dari fraksi Partai Amanat Nasional, Asrizal H Asnawi. Walaupun pihak keluarga Tjut Meutia tak keberatan dengan gambar leluhur mereka tak berjilbab. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jilbab adalah kerudung lebar yang dipakai wanita muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada. Istilah ini memang baru populer di zaman moderan. Di awal abad XX, istilah jilbab belum banyak dipakai. Penggunanya di Indonesia juga kala itu sulit pahlawan wanita di masa lalu menunjukkan hanya segelintir yang mengenakan jilbab. Selain Tjut Meutia, Tjut Njak Dien juga tak berjilbab. Setidaknya berdasar foto koleksi Tropenmuseum yang dipotret setelah penangkapannya di 1905. Intinya, tak semua pahlawan nasional perempuan beragama Islam berjilbab di masa awal abad XX. “Jilbab, blus, dan celana masa kini tidak ada dalam foto-foto dari tahun 1880-an dan 1890-an,” tulis Jean Gelman Taylor dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia 2008. Kesimpulan itu didapat setelah dia mengamati foto-foto lawas era 1880-1890-an. Berdasarkan foto-foto lawas, hanya Siti Walidah alias Nyi Ahmad Dahlan dan Rangkayo Rasuna Said yang terlihat memakai jilbab. Dua perempuan ini tak berjuang medan perang, tetapi merupakan intelektual pergerakan nasional di zaman kolonial. Di zaman kolonial, jilbab bukan penutup kepala populer yang dipakai oleh kaum hawa. Pada masa itu, lebih mudah ditemukan perempuan-perempuan Abdul Munir Mulkhan dalam Kiai Ahmad Dahlan Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan 2010, Ahmad Dahlan “yang mentradisikan pemakaian kerudung bagi kaum perempuan yang belakangan merebak dalam tradisi atau model jilbab.” Tentu saja tidak langsung semua perempuan beragama Islam mulai banyak yang berkerudung, apalagi berjilbab. Di era pergerakan nasional 1930-an, jumlah perempuan berkerudung atau berjilbab juga masih belum banyak. Rangkayo Rasuna Said berjilbab seperti gurunya ketika di Diniyah Putri, Rahmah El Yunusiyah. Mengenai jilbab yang dipakai Rasuna, dalam memoarnya, Hadely Hasibuan Memoar Mantan Menteri Penurunan Harga 1995, Hadely Hasibuan menuliskan kekagumannya pada Rasuna Said. “Rangkayo yang cantik ini, konon sehari-harian, dari pagi sampai malam selalu mengenakan baju kurung dan jilbab.” Menurut AA Navis dalam Surat dan Kenangan Haji 1994, jilbab yang dipakai Rasuna Said digolongkan sebagai jilbab jenis mudawarah. Pada dekade yang sama, Siti Raham, istri Buya Hamka, juga memakai jilbab yang hampir sama dengan Rasuna. Setelah era pergerakan nasional, yang berlanjut di masa revolusi bahkan hingga film-film dakwah ala Rhoma Irama bertaburan di era 1970-1980, jilbab dan kerudung masih belum populer di Indonesia. Dalam beberapa film yang dibintangi Rhoma Irama, perempuan yang jadi pasangan Raja Dangdut itu hanya digambarkan mengenakan pakaian sopan, tanpa jilbab ataupun kerudung. Dalam film Perjuangan dan Doa yang dirilis 1980, tokoh sosok pelajar madrasah bernama Laila yang diperankan Rika Rachim hanya memakai kerudung saja. Memasuki periode 1980an, penggunaan jilbab mulai semarak. Makin banyak siswi sekolah yang mengenakan jilbab, dan muncul wacana untuk memisahkan siswi berjilbab dan tidak berjilbab. Pada 1979, siswi-siswi berjilbab di Sekolah Pendidikan Guru SPG Negeri Bandung menolak dipisahkan dengan kawan-kawan perempuan mereka yang tak berjilbab. Ketua MUI Bandung kala itu EZ Muttaqien berhasil menggagalkan pemisahan itu. Pemerintah Orde Baru memang dikenal sebagai pemerintah yang gandrung pada keseragaman, termasuk dalam berpakaian. Pada 17 Maret 1982, Dirjen Pendidikan dan Menengah Dikdasmen, Prof. Darji Darmodiharjo, SH., mengeluarkan Surat Keputusan 052/C/Kep/ tentang Seragam Sekolah Nasional yang berujung pada pelarangan jilbab di sekolah negeri Marle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 2008, gerakan-gerakan Islam yang berseberangan dengan Orde Baru merasa, “pemerintah Orde Baru selalu menghalang-halangi umat Islam untuk menerapkan syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari, misalnya melarang para perempuan memakai jilbab untuk menutupi auratnya.”Tentu saja Soeharto tak bisa berlama-lama menghalang-halangi jilbab. Dia tak mau terus menerus ditentang diam-diam oleh orang Islam seperti sosok Abdurrahman Wahid yang pimpinan NU itu. Soeharto pun akhirnya merangkul orang-orang Islam lainnya. Pada kala itu, Soeharto menyetujui didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia ICMI pada Desember 1990. Lalu memperbolehkan jilbab dipakai dan berkembang, bahkan belakangan ini ada istilah Gen-M untuk menggambarkan sebuah generasi.“Usaha Soeharto mendapatkan dukungan Islam menghasilkan sejumlah konsesi pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Perempuan diperbolehkan memakai jilbab,” tulis Marle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 2008. Berdasar Surat Keputusan nomor 100/C/Kep/D/ tahun 1991, Dirjen Pendidikan dan Menengah memperbolehkan lagi siswi-siswi di sekolah-sekolah negeri sekuler memakai jilbab. Seperti ditulis Eko Prasetyo dalam Astaghfirullah! Islam Jangan Dijual 2007, “jilbab kemudian trend mode.” Dari tahun ke tahun, setelah diperbolehkan perlahan-lahan pemakainya semakin banyak. Para wanita bahkan semakin kreatif dalam memodifikasi jilbab. Tren ini dimulai dari ujung masa Orde Baru, hingga kini. - Sosial Budaya Reporter Petrik MatanasiPenulis Petrik MatanasiEditor Suhendra Kisah cinta Buya Hamka dan Siti Raham terbilang romantis dengan cara yang sederhana Sosok Buya Hamka mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian masyarakat Indonesia. Ulama yang memiliki idealisme kuat ini merupakan seorang Hamka menjadi ketua pertama Majelis Ulama Indonesia MUI sekaligus tokoh Muhammadiyah yang memperoleh gelar Pahlawan itu, nama Buya Hamka juga dikenal sebagai penulis novel terlaris, seperti Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapan van den Wijck. Semasa hidup, ia meniti karier sebagai penulis, wartawan, pengajar, dan jasa-jasanya kepada negara, kisah cinta Buya Hamka dan Siti Raham juga berhasil menuai sorotan karena begitu romantis dan penuh kesederhanaan. Berikut siap membahas fakta kisah cinta Buya Hamka dan Siti Raham secara lebih Buya Hamka dan Siti Raham menikah pada 5 April cinta keduanya bermula pada 5 April 1929. Saat itu, Buya Hamka berusia 21 tahun dan Siti Raham berusia 15 tahun. Mereka sah menjadi pasangan suami istri di usia yang masih sangat masih belia, Siti Raham sampai harus berdiri di atas bangku kecil agar tingginya sepantaran dengan Buya Hamka. Sebelum resmi menikah, Buya Hamka sempat menulis roman berbahasa Minang berjudul Si tersebut dicetak tiga kali. Dari pendapatan penjualan buku itulah Buya Hamka menggunakannya untuk biaya Buya Hamka menolak untuk muda, Buya Hamka termasuk lelaki yang mudah sekali jatuh cinta. Selama melakukan perjalanan, banyak perempuan yang menarik perhatiannya, termasuk seorang janda muda bernama istrinya masih belia dan tidak masalah jika dirinya mendua, Buya Hamka menolak permintaan papanya untuk menikah dua kali. Bahkan, sampai ada pula seorang muslimah yang menawarkan diri untuk menjadi teman hidup Hamka secara Buya Hamka tetap teguh pada pendiriannya. Hatinya tak kuasa menikahi perempuan lain setelah Siti Raham. Selalu ada peringatan yang menghampiri relung batin Buya Hamka ketika berniat menerima tawaran cinta dari perempuan Rumah tangga Buya Hamka dan Siti Raham mengalami masalah perekonomianDok. Keluarga Buya HamkaBanyak suka dan duka yang mewarnai kehidupan pernikahan Buya Hamka dan Siti Raham, apalagi mereka berasal dari keluarga kurang mampu secara perekonomian. Saat ujian datang silih berganti, Siti Raham tak pernah henti memberikan motivasi tanpa mengeluh sekali pun.“Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain,” tutur Hamka dalam buku biografi Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka karangan Rusydi Picks4. Puncak kemiskinan terjadi saat anak ketiga Buya Hamka lahir ke duniaDok. Keluarga Buya HamkaPuncak kemiskinan Buya Hamka dan Siti Raham terjadi ketika lahirnya anak ketiga mereka, yaitu Rusydi Hamka. Ia dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada itu, anak pertamanya yang bernama Hisyam meninggal dunia saat berusia lima tahun. Besarnya tanggungan ekonomi serta kerasnya penjajahan pada masa itu membuat Buya Hamka harus memutar otak secara ekstra. Apalagi ia harus membiayai istri dan kondisi diselimuti kemiskinan, Buya Hamka memutuskan untuk pergi ke Medan demi bekerja di Majalah Pedoman Masyarakat. Di ibu kota Sumatera Utara itu, Buya Hamka menetap selama sebelas tahun Siti Raham senantiasan menjalankan amanah yang diberikan Buya Vino G Bastian sebagai Buya Hamka, Laudya Chintya Bella sebagai Siti Raham Menurut Rusydi Hamka, saat itulah dia menyaksikan secara langsung kesulitan ekonomi yang dihadapi kedua orangtuanya. Kesetiaan Siti Raham terhadap Buya Hamka kerap diuji, namun ia memilih untuk mempertahankan rumah Raham senantiasa menjalankan amanah dari Buya Hamka untuk menjadi istri yang taat kepada suami serta mendidik anak-anaknya, meski Buya Hamka tidak bersamanya. Dalam kondisi pas-pasan, Buya Hamka mampu menahkodai rumah tangga dengan tujuh orang anak tersebut belum termasuk kemenakan yang ikut dibiayai Buya Hamka. Pasalnya, dalam adat Minang, saudara ibu yang laki-kaki memiliki tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara Siti Raham rela menjual perhiasan demi membeli beras dan membayar sekolah Vino G Bastian sebagai Buya Hamka, Laudya Chintya Bella sebagai Siti Raham Saat menemui istrinya di rumah, pertanyaan yang sering diutarakan Buya Hamka adalah “Apakah anak-anak bisa makan?” kemudian ia sengaja menepuk perut anak-anaknya untuk memastikan apakah buah hatinya dalam keadaan lapar atau Raham sukses menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Demi anak-anaknya tidak kelaparan, ia rela menjual harta simpanannya. Sejak dulu, Siti Raham bukanlah perempuan yang menjadikan perhiasan sebagai mahkota hidupnya adalah Buya Hamka dan keluarga. Mulai dari kalung, gelang emas, dan kain batik halus yang dibelinya di Medan terpaksa ia jual di bawah harga demi membeli beras serta membayar uang sekolah Raham seolah tidak lagi peduli akan dirinya yang kesusahan, asalkan perut anak-anaknya bisa kenyang dengan tenang dan tetap bisa melanjutkan Siti Raham selalu memprioritaskan kehormatan Vino G Bastian sebagai Buya Hamka, Laudya Chintya Bella sebagai Siti Raham Sering sekali Siti Raham meneteskan air mata ketika membuka lemari untuk mengambil kain-kain yang disimpannya. Ia berniat untuk menjualnya ke pasar demi bisa memberi makan tega melihat istrinya terus menguras harta, Buya Hamka sontak mengeluarkan sejumlah kain Bugis untuk dijual. Namun, istrinya justru mencegahnya dan berkata“Kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja. Karena Angku Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji kelihatan sebagai orang miskin,” ujar Siti kehidupan yang serba sederhana, Siti Raham masih memprioritaskan kehormatan suaminya. Apa saja rela dilakukan agar Buya Hamka tidak terlihat lusuh di mata jama’ah dan Raham kerap memikirkan pakaian hingga membersihkan kopiah saat suaminya hendak keluar. Baginya, cinta adalah Banyak pengorbanan yang dilakukan Siti Raham untuk menjalani tugasnya sebagai seorang Vino G Bastian sebagai Buya Hamka “Saya diminta berpidato, tapi sebenarnya ibu-ibu dan bapak-bapak sendiri memaklumi bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato dari sejak memasakkan makanan hingga menjaga kesehatannya,”Itulah kalimat singkat yang diutarakan Siti Raham ketika dipercaya memberikan pidato dalam kunjungan Buya Hamka ke Makassar. Tak disangka, ucapan itu sukses membuat Buya Hamka meneteskan air besar pengorbanan Siti Raham sebagai seorang istri dalam masa-masa perjuangan. Maka, melihat Buya Hamka yang menangis ketika dirinya turun dari mimbar pidato, Siti Raham hanya bisa tersenyum dan berkata, “Kan yang Ummi pidatokan itu kenyataannya saja.”Itu dia ulasan seputar fakta kisah cinta Buya Hamka dan Siti Raham. Bagaimana menurut Mama perjuangan cinta mereka berdua?Baca juga Tayang saat Lebaran, Ini Pelajaran Cinta dari Sosok Buya Hamka 5 Fakta Menarik Film Buya Hamka, Karya Panjang Berdurasi 7 JamTingkat Kecocokan Zodiak Taurus dan Capricorn dalam Percintaan "Saya diminta berpidato, tapi sebenarnya ibu-ibu dan bapak-bapak sendiri memaklumi bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato dari sejak memasakkan makanan hingga menjaga kesehatannya.”Itulah kalimat singkat dari Siti Raham binti Endah saat didapuk memberikan pidato dalam kunjungan Buya Hamka ke Makassar. Tak disangka, ucapan dari wanita bersahaja itu mendapat sambutan besar dari ribuan hadirin. “Hidup Ummi.. Hidup Ummi!” pekik Hamka pun meneteskan air mata. Tangis haru dari ulama besar itu mengiringi langkah kaki sang kekasih turun dari panggung. Betapa besar pengorbanan istri tercintanya dalam masa-masa perjuangan. Siti Raham adalah garansi dari ketawadhuan di balik nama besar Buya cinta mereka dimulai pada 5 April 1929. Kala itu, Siti Raham berusia 15 tahun. Sedangkan Buya Hamka berumur 21 tahun. Sejak itu, mereka sah menjadi pasangan suami istri. Ya, di sebuah usia dimana para muda-mudi saat ini lebih sibuk memakan rayuan dan menenggak Buya Hamka meminang Siti Raham patutlah ditiru. Tidaklah salah Allah menganugerahi manusia dengan kekuatan akal pikirannya. Buya Hamka kemudian menulis roman berbahasa Minang berjudul “Si Sabariyah”. Buku itu dicetak tiga kali. Dari honor buku itulah Buya membiayai suka dan duka mewarnai perjalanan Buya Hamka merajut rumah tangga. Ulama Muhammadiyah itu tidak salah memilih Siti Raham. Di saat ujian datang, wanita kelahiran 1914 ini tampil sebagai motivasi baginya. Tanpa mengeluh maupun gulana.“Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain,” tutur Hamka dalam buku biografi “Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka” karangan Rusydi kemiskinan dua sejoli ini terjadi ketika lahir anak ketiga, yaitu Rusydi Hamka. Dia dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada 1935. Sedangkan anak pertama Buya Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun. Besarnya beban ekonomi ditambah kerasnya penjajahan, membuat Hamka harus memutar otak untuk membiayai kondisi diliputi kemiskinan, pergilah Hamka ke Medan untuk bekerja di Majalah Pedoman Masyarakat. Di kota yang kini menjadi ibukota Sumatera Utara itu, Hamka tinggal selama sebelas penuturan Rusydi Hamka, saat itulah dia menyaksikan dan mengalami kesulitan-kesulitan hidup kedua orangtuanya. Di balik tanggung jawab sang ayah, tak lupa kesetiaan Siti Raham senantiasa bersamanya. Wanita tegar itu senantiasa menjalankan amanah Buya Hamka untuk menjadi istri yang taat suami dan mendidik anak-anak di kala Buya tiada kondisi pas-pasan, Buya Hamka mampu menahkodai rumah tangga dengan tujuh orang anak. Itu belum ditambah beberapa kemenakan yang ikut dibiayai Buya Hamka. Sebab dalam adat Minang, seorang Mamak punya tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara mengatakan Hamka adalah orang yang biasa-biasa saja. Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai berdagang, Buya Hamka bukanlah orang yang mewarisi bakat berbisnis. Hamka juga bukanlah orang yang makan gaji dari pemerintah.“Ketika pindah ke Padang Panjang dalam suasana revolusi, ayah jelas tak punya sumber kehidupan tetap yang diharapkan setiap bulan,” terang Rusydi memimpin Muhammadiyah di Sumatera Barat, Buya Hamka kerap keliling kampung untuk berdakwah. Perjalanan itu kerap dilaluinya dengan Bendi maupun berjalan kaki. Hal itu dilakukan selama berhari-hari tanpa pulang ke saat menemui istrinya di rumah, pertanyaan yang sering diutarakan Buya Hamka adalah Apakah anak-anak bisa makan? Hingga Buya Hamka sengaja menepuk perut anak-anaknya untuk mengetahui apakah buah hatinya lapar atau sinilah, Siti Raham sukses menjalankan amanah sebagai Ibu. Agar anak-anaknya tidak kelaparan, Siti Raham rela menjual harta simpanannya. Beliau bukanlah wanita menjadikan perhiasan sebagai makhota. Karena makhota sejatinya adalah Buya Hamka dan Kalung, gelang emas, dan kain batik halus yang dibelinya di Medan terpaksa dijual di bawah harga demi membeli beras dan membayar uang sekolah anak-anak. Biarlah dirinya kesusahan, asal perut anak-anaknya tidak kelaparan dan tetap bisa melanjutkan kali dirinya meneteskan air mata, ketika membuka almarinya untuk mengambil kain-kain simpanannya untuk dijual ke pasar. Tak tega melihat istrinya terus menguras hartanya, Buya Hamka sontak mengeluarkan beberapa helai kain Bugisnya untuk dijual. Namun sang istri mencegahnya.“Kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja. Karena Angku Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji kelihatan sebagai orang miskin,” dalam keadaan sederhana Siti Raham masih mempertimbangkan kehormatan suaminya. Apa saja dilakukannya agar Buya Hamka tidak terlihat lusuh di mata jama’ah dan masyarakat. Dari mulai memikirkan pakaian hingga membersihkan kopiah bila Buya Hamka hendak keluar. Karena cinta adalah melihat Buya Hamka menangis saat dirinya turun dari mimbar pidato di Makassar, sang istri hanya bisa tersenyum, “Kan yang Ummi pidatokan itu kenyataannya saja.”

istri buya hamka tidak berjilbab